Pendidikan Anak Jalanan Tersisih Akibat Penggusuran
Jakarta, 11 Februari
Penggusuran membawa persoalan pelik bagi anak-anak jalanan untuk
mendapatkan hak pendidikan dan pengajaran. Anak-anak yang orang tuanya
terkena gusuran, banyak kehilangan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan. Padahal, pemerintah menyatakan, negara kita yang
memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak.
Hal itu diungkapkan oleh Edy Karyanto, pendamping anak jalanan dari
Institut Sosial Jakarta dalam diskusi terbatas tentang anak jalanan di
Kantor Suara Pembaruan, hari Jumat (7/2). ''Akibat penggusuran itu,
saya kira anak-anak maupun orang dewasa bisa menuntut para penggusur
untuk mempertimbangkan hak anak untuk melindungi pendidikannya,'' ujar
Edy.
Ditambahkan, saat ini memang belum ada pendidikan khusus bagi
anak-anak jalanan. Tapi anak jalanan ingin agar pemerintah
memperhatikan pendidikan termasuk kesejahteraannya dan pihaknya siap
untuk membantu.
Menurutnya, alasan pemerintah kurang memperhatikan pendidikan anak
jalanan karena mereka melihat pendidikan anak jalanan bukan suatu
proyek yang menguntungkan kalau dibandingkan dengan pembangunan jalan
raya, misalnya.
Untuk itu, lanjut Edy, pemerintah harus bertanggung jawab untuk
memperhatikan anak jalanan. Karena pada dasarnya negara kita mengakui
dan memberikan perlindungan kepada anak-anak, khususnya kepada anak
telantar.
Untuk tegasnya, anak jalanan merupakan anak yang tidak diuntungkan.
Karena tidak mendapat kesempatan sekolah. Pemerintah harus memberi
jatah sekolah untuk anak-anak yang miskin.
Kemudian kedua mereka yang pandai dan kaya juga harus memperhatikan
pendidikan untuk mereka yang mampu atau miskin. Tidak cukup hanya
menjadi orang tua asuh bagi anak miskin.
Sesungguhnya bentuk sekolah atau pendidikan yang pas untuk anak
jalanan tidak harus sekolah formal atau memberikan fasilitas
pendidikan khusus lainnya. Model pendidikan bagi anak jalanan dapat
berupa sanggar atau kelompok.
Sementara itu, Koordinator Advokasi Anak Jalanan, Tigor Nainggolan SH
menilai salah satu penghambat anak jalanan untuk dapat berbuat adalah
Perda No 11 Tahun 1988 tentang keamanan, ketertiban dan keindahan
kota.
Dikatakan, Peraturan Daerah itu menjebak anak jalanan untuk melakukan
pekerjaanya dimana mereka harus survive ditengah kota besar. Anak
jalanan kerap dikejar, ditangkapi serta diperlakukan tidak adil oleh
aparat Pomong Praja yang menjadi Perda tersebut sebagai alasan utama.
''Untuk hidup di tengah kota anak jalanan semakin tersingkir dan sulit
untuk beraktivitas. Yang sangat memprihatinkan adalah perlakuan tidak
manusiawi para aparat ketika menangkapi anak-anak jalanan tersebut,''
ujarnya.
Selain Perda tersebut, lanjut Tigor, para pelaku ekonomi juga merampas
lahan mereka. Para pelaku ekonomi itu telah melihat sampah yang
menjadi sumber kehidupan anak jalanan sebagai tambang yang berharga.
Sehingga untuk mencari sampah pun mereka mengalami kesulitan.
Belajar Cara Gembel
Edy Karyanto menambahkan, para anak jalanan biasanya sudah lama punya
cara belajar sendiri. Misalnya, untuk bisa makan, mereka akan
mengasong, menyemir sepatu, memulung. Karena itu, anak-anak jalanan
sebaiknya jangan cepat-cepat dipaksa, diatur-atur.
Menurutnya, penanganan anak jalanan sebaiknya dilakukan dengan jalan
mengumpulkan mereka terlebih dahulu, ditanyakan apa pekerjaanya,
kemudian apa kemauannya. Seperti adanya rumah terbuka yang ada di
Kampung Jembatan atau dulu di Jalan Panti Asuhan.
Di rumah tersebut, ujar Edy, mereka berkumpul kemudian ngobrol,
ditanyakan maunya apa, kemudian mereka diberi tugas. Jadi di rumah itu
mereka menjadi satu keluarga. Belajar tanggung jawab menabung,
memelihara alat musik dan memelihara rumah. ''Pendidikan yang cocok
bagi anak jalanan adalah pendidikan yang menjawab kebutuhan.
Pendidikan yang sesuai dengan lingkungan mereka, itu yang cocok buat
anak yang sering tergusur,'' ujarnya. (EB/A-7)
DAN INI GAMBAR ANAK JALANAN YG KURANG MAMPU, TDK MEMPUNYAI PENDIDIKAN, AYO BANTU SAHABAT KITA YG SEDANG KESUSAHAN DALAM PENDIDIKANNYA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar